Malam
yang sepi aku lalui sendiri waktu itu. Ribuan acara televisi telah aku
saksikan. Mulai dari stand up comedy, liga sepakbola, hingga sinetron religi.
Aku telah muak dengan semua itu. Mereka tak kunjung membuat aku bahagia. Mata
ini memang tela h cukup lelah menyaksikan kemuakan itu. Perut ini pun mulai
menunjukan protes nya atas tuannya yang tak memasok makanan. Terlebih lagi,
hujan mulai turun, cukup perlahan. Perlahan tapi menyayat, hingga dinginnya
merasuk ke tulang.
Ok.
Aku menyerah. Aku harus mengisi perutku. aku tak mau terus didemo oleh
suara-suara keroncong darinya. Aku harus mendengarkan aspirasi mereka. Aku
harus mencari penghangatan. Aku tak mau tulang-tulangku kerasukan oleh hawa
dingin dari hujan yang terus melebat.
Terpaksa
aku mengenakan baju tebal yang tak biasanya aku kenakan. Terpaksa aku buka
lebar-lebar payung, hingga hujan tak mampu membasahiku.
Aku
telah sampai, di suatu tempat peraduan nasib orangtuaku hingga mereka mampu
membesarkan aku hingga sebesar hari ini. Aku terlampau malas hingga tak
menemani mereka malam ini. Lagi-lagi hujan, dia memaksaku untuk tetap meringkuk
di rumah, menyerahkan tubuhku pada acara-acara memuakan tivi malam ini. Perut
memaksakanku untuk menyusul mereka, menerjang lebat hujan hingga dinginnya
udara.
“ Ini semua demi
kamu perut ”.
“ Tapi, tak hanya
itu!”
“ Kamu juga butuh
mereka”
“ merekalah yang
akan menghangatkan tulang-tulangmu!”
“ merekalah yang
akan menghangatmu”
Ternyata benar apa
kata perut itu. Ternyata hangat berada di antara mereka. Di antara kasih sayang
yang mereka curahkan. Walau aku telah sebesar ini.
Kini aku berkata
pada hujan,
Hujan. Tak perlu
kamu reda. Karena kamu telah mendinginkan kami. Hingga kamu tahu jika hangat
akan ada jika kamu bersatu di antara dingin yang kamu ciptakan.
Hujan. Tak perlu kamu reda. Karena aku tak
perlu lagi akan kehadiran pelangi. Dialah lebih indah, melebihi indahnya
pelangi.
Merekalah ayah dan ibu.
-28 january 2013-
tengah malam, kala hujan telah reda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar